Musim demi musim datang dan pergi silih berganti. Tahun-tahun telah berlalu. Desa ini masih sama. Nyaris tak berubah.

Matahari masih bersinar lembut, membawa hangat ke udara yang mengalir di atas hamparan sawah yang siap panen. Langit biru cerah membentang dari ujung pandangan, dengan sapuan awan putih tipis-tipis. 

Rumpun-rumpun bambu masih menghias hutan kecil di sisi kiri dan kanan sungai. Seakan tak terjamah perubahan masif di kota tetangga.

Namun, beragam perasaan berkecamuk di hati Arin saat melangkah kembali di kampung halamannya itu, tempat dia menghabiskan masa kecil bersama kedua kakek dan neneknya dulu. Menyusuri tapak demi tapaknya.

Telah lama sekali ia tidak berkunjung ke desa itu, karena merantau ke negeri yang jauh. Dan kini ia kembali. Bukan untuk menetap. Hanya menjenguk. Karena lusa ia harus kembali ke ibu kota, dan meneruskan kehidupan di sana.

Namun, lamunan membawanya kembali ke masa lalu, bersama langit biru, hembusan angin sepoi-sepoi, dedaunan yang gugur, dan suara celoteh anak-anak desa.

“Nirmala dan Oki bermain di pantai. Saat itu air laut sedang pasang surut. Mereka bisa mencari kerang sampai jauh. Tak terasa mereka tiba di dekat sebuah pulau kosong. Nir, kita main ke pulau kosong itu, yuk! Ajak Oki kepada Nirmala. Tidak mau, ah. Sebentar lagi kan air laut pasang naik. Kalau air sudah tinggi, kita tidak bisa kembali. Tolak Nirmala.”

Adalah Lia, seorang anak perempuan berusia 9 tahun, membacakan keras-keras cerita Negeri Dongeng dari Majalah Bobo kepada Apeng, adiknya yang baru menginjak 6 tahun.

Apeng, dengan tubuhnya yang kurus dan layu untuk ukuran anak seusianya, berbinar menatap kakaknya yang asyik membolak-balik halaman Majalah Bobo. 

Kakak beradik itu termasuk pengunjung setia di taman bacaan ala kadarnya yang dibangun di pinggir sawah di sebuah kampung di pinggiran Bandung, Jawa Barat.

Lia dan Apeng adalah dua terkecil dari lima bersaudara. Mereka tinggal bersama ibunya di sebuah rumah panggung berbilik bambu, tak jauh dari taman bacaan.

Tidak banyak macam perabotan di dalam rumah sederhana itu. Hanya kasur yang menghampar dengan seprei lusuh, dipan kayu yang termakan ngengat di sana sini, lemari plastik tempat pakaian, serta hawu atau perapian khas masyarakat tradisional Sunda, yang digunakan untuk memanaskan air atau memasak nasi. Tidak ada kompor. Tidak ada dapur. Tidak ada kamar mandi.

Saat malam tiba, embusan angin dingin di wilayah pinggiran Bandung terasa masuk melalui celah-celah bambu yang tak teranyam sempurna. Jika ingin membersihkan diri atau menuntaskan hajat, penghuni rumah ini akan berjalan kaki sekitar 50 meter ke arah barat, menuju Sungai Citarik.

Di rumah sangat sederhana itu tinggallah sang ibu, Lia dan Apeng, serta tiga kakak mereka. Nanang, anak pertama di keluarga itu, yang pintar dan sering mendapatkan rangking 1 di sekolah, tetapi hanya mampu menamatkan pendidikan sampai SMP dan sekarang bekerja serabutan; lalu ada Pian yang duduk di bangku kelas 3 SMP; dan Sari yang baru masuk kelas 1 SMP.

Telah bertahun-tahun lamanya, keluarga bersahaja ini ditinggalkan sang kepala keluarga. Ayah Lia, yang bekerja sebagai buruh angkut di pasar, pergi meninggalkan untuk menikah dengan perempuan lain.

Bagi Lia, Taman Bacaan Barudak itu bagaikan sanctuary-nya, taman tempatnya bersenang-senang, berdamai dengan hidup dan bermimpi. Meskipun kecil, di perpustakaan ini dia menemukan banyak buku untuk dibaca. Begitu juga majalah anak-anak.

Seringkali Lia datang beramai-ramai dengan kawan sebayanya, berdua dengan adiknya, atau bahkan sendirian, ke perpustakaan di ujung kampung itu. Bacaan apa saja dilahapnya. 

Kadang sambil bersandar di bawah pohon jambu air sambil menghadap empang dan areal persawahan. Kadang dia inisiatif menyapu dan ikut merapikan tumpukan buku di rak.





Arin, pendiri taman bacaan, sangat menyayangi Lia. Arin dulu tinggal di kampung yang sama. Sejak kuliah, ia tidak lagi tinggal di sana, tetapi masih sering datang berkunjung untuk mengelola perpustakaan kecilnya. Kehadiran Lia sangat membantu Arin.

Saat membuat lomba kecil-kecilan untuk anak-anak desa setempat, Lia seringkali turut serta meringankan beban Arin. Dia ikut membungkus hadiah. Turut menyiapkan kertas dan pena. Juga benah-benah, dengan badan mungilnya yang tak cukup gizi.

“Lia kalau besar nanti cita-citanya mau jadi apa?” Tanya Arin di sela-sela kegiatan mereka.

“Mau nerusin sekolah, mau jadi guru,” senyumnya terkembang. Ceria, hangat, dan lugu. Senyum seorang anak perempuan kecil berusia 9 tahun dari sebuah desa sederhana yang jauh dari hiruk pikuk kota.

“Wah bagus itu cita-citanya!” Arin merespon. Hatinya membatin, semoga Pemilik Semesta mengabulkan cita-cita adik kecil ini dan membawanya keluar dari kehidupan yang susah. “Mau jadi guru apa?”

“Guru IPA. Biar bisa belajar alam semesta!”

“Amiin… Berarti harus rajin belajar dari sekarang!” Sambut Arin.

Sekali lagi, seperti yang sudah-sudah, sore itu Lia menjadi yang terakhir yang tinggal bersama Arin di perpustakaan. Sepulangnya anak-anak setempat dari kegiatan membaca, buku-buku berserakan. Lia, ditemani sang adik Apeng, ikut merapikan dan menutup pintu perpustakaan.

“Dadah Teh Arin… Assalamualaikum..,” lambai Lia dan Apeng, bersamaan dengan sayup-sayup suara adzan Ashar dari pengeras suara di masjid kampung sebelah.

Di dalam hati, Arin membatin, pokoknya bagaimanapun, Lia enggak boleh bernasib sama dengan Nanang, kakaknya yang pintar, yang selalu juara kelas, tapi terpaksa putus sekolah karena faktor ekonomi!

Dalam hati, Arin sudah menyiapkan rencana khususnya untuk Lia, supaya menjadi penerusnya mengurus taman bacaan bagi anak-anak di kampung yang jauh dari akses informasi itu.

“Pokoknya bagaimanapun, aku harus menemukan cara membantu mewujudkan cita-cita Lia!” Batin Arin.

- berlanjut -

Post a Comment