Arin terlonjak. 

Sekawanan bebek menggugahnya dari lamunan. 

Mereka dengan riang menyeberang tegalan persawahan tempat Arin terdiam menatap area pemakaman umum, tak jauh dari sisi sungai, tak jauh dari perpustakaan yang dulu sempat didirikannya.

Di sana pusara Lia masih berdiri, dengan ringkih dan bersahaja. Papan kayu yang menghitam ditelan masa, dengan tulisan yang mulai pudar di atasnya: Telah Berpulang Lia Marliani, Juni 2012.

Bukan hanya cita-cita Lia yang kandas. Mimpi Arin, untuk membantu adik kecil kesayangannya itu meraih cita-cita – atau setidaknya meneruskan sekolah, juga hancur.

Arin masih ingat dengan jelas, panas yang menjalar di kedua matanya dan shock yang melanda saat dia mendapatkan pesan singkat dari salah satu kerabatnya di desa: “Rin, ada kabar duka. Lia meninggal.”

Ketika itu, pagi yang hangat di Jakarta. Arin, yang mulai menapaki kehidupan dunia kerja di ibu kota, sedang mempersiapkan perlengkapannya.

Singkat saja pesan dari kerabat Arin itu. Tidak banyak informasi tambahan atau kata-kata apapun lainnya.

Namun, efeknya sangat pahit dan terasa mencekik. Dingin dan perih merambat dari dasar kaki Arin, menjalari lutut, berjalan hingga ke perut, ulu hati, hingga tenggorokan, kemudian hinggap ke mata. Tangisnya pun pecah, di pagi yang baru berjalan kurang dari sepenggalan.

Arin tidak tahu harus berbuat apa. Dia jatuh terduduk. Menangis sejadi-jadinya. Tanpa ada orang lain yang melihat, di kosannya yang sederhana di pusat kota.

Lia menutup hidupnya dalam usia yang masih sangat belia, 12 tahun. Dia menghembuskan nafas terakhir setelah 5 hari dirawat di sebuah rumah sakit daerah di kawasan timur Bandung, dengan vonis gejala demam berdarah.

Lia yang telah duduk di bangku SMP itu terpaksa absen dari pejalaran sekolah karena demam. Selama berhari-hari, Lia demam dan hanya berbaring di rumah keluarganya yang amat sangat sederhana, yang dingin di saat malam.

Entah apa sebab utamanya, kenapa gadis kecil yang gemar membaca dan bercita-cita jadi guru itu terlambat dibawa ke rumah sakit? Entah karena faktor ketidaktahuan, kebodohan, atau ketidakacuhankah yang menyebabkan penanganan demamnya Lia tertunda? Banyak pertanyaan – dan kemarahan – yang berkecamuk di benak Arin saat mendapati kejadian yang menimpa adik kecilnya.

Kerap Arin berandai-andai, andai saja semuanya terbuka ketika Lia mulai dilanda demam tinggi. Andai saja Arin diberitahu kondisinyaBisakah dia menyelamatkannya, memaksa melarikannya ke rumah sakit sesegera mungkin?

Mungkinkah jalan ceritanya kan menjadi berbeda? Mungkinkah Lia saat ini masih tersenyum sambil membaca buku kegemarannya? Mungkinkan Lia masih melanjutkan pendidikannya dan mengejar cita-citanya menjadi guru IPA?

Desau angin tipis menghembuskan udara segar di pinggir sungai di Kampung Leuwilayung itu. Lia kini sudah beristirahat dengan tenang. Setenang landscape tempat pemakaman umum itu, yang dikelilingi bentangan sawah menhijau, dipagari gemericik lembut aliran Sungai Citarik, dan dinaungi langit biru yang belum tercemar polusi kendaraan.

Arin sadar, dia tak boleh berandai-andai. Hidup tak surut ke belakang dan tidak tertambat di masa lalu. Semua sudah berlalu dan tak mungkin kembali lagi. Satu yang pasti, Lia gadis desa kecil, dengan semangat belajar dan kesederhanaannyameninggalkan jejak senyum abadi di hati Arin.

- Tamat -


*Ilustrasi ini memiliki hak cipta


Post a Comment